Pages

Jumat, 22 Juli 2011

Pembelajaran Kolaboratif versus Kooperatif

Dalam sebuah artikelnya Ted Panitz (1996) menjelaskan bahwa pembelajaran kolaboratif adalah suatu filsafat personal, bukan sekadar teknik pembelajaran di kelas. Menurutnya, kolaborasi adalah filsafat interaksi dan gaya hidup yang menjadikan kerjasama sebagai suatu struktur interaksi yang dirancang sedemikian rupa guna memudahkan usaha kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Pada segala situasi, ketika sejumlah orang berada dalam suatu kelompok, kolaborasi merupakan suatu cara untuk berhubungan dengan saling menghormati dan menghargai kemampuan dan sumbangan setiap anggota kelompok. Di dalamnya terdapat pembagian kewenangan dan penerimaan tanggung jawab di antara para anggota kelompok untuk melaksanakan tindakan kelompok. Pokok pikiran yang mendasari pembelajaran kolaboratif adalah konsensus yang terbina melalui kerjasama di antara anggota kelompok sebagai lawan dari kompetisi yang mengutamakan keunggulan individu. Para praktisi pembelajaran kolaboratif memanfaatkan filsafat ini di kelas, dalam rapat-rapat komite, dalam berbagai komunitas, dalam keluarga dan secara luas sebagai cara hidup dengan dan dalam berhubungan dengan sesama.

John Myers (1991) merujuk pada kamus untuk menjelaskan definisi collaboration yang berasal dari akar kata Latin dengan makna yang menitikberatkan proses kerjasama sedangkan kata cooperation berfokus pada produk kerjasama itu. Selanjutnya Myers menunjukkan beberapa perbedaan di antara kedua konsep itu sebagai berikut:

Supporters of co-operative learning tend to be more teacher-centered, for example when forming heterogeneous groups, structuring positive interdependence, and teaching co-operative skills. Collaborative learning advocates distrust structure and allow students more say if forming friendship and interest groups. Student talk is stressed as a means for working things out. Discovery and contextural approaches are used to teach interpersonal skills.
Such differences can lead to disagreements…. I contend the dispute is not about research, but more about the morality of what should happen in the schools. Beliefs as to what should happen in the schools can be viewed as a continuum of orientations toward curriculum from “transmission” to “transaction” to “transmission”. At one end is the transmission position. As the name suggests, the aim of this orientation is to transmit knowledge to students in the form of facts, skills and values. The transformation position at the other end of the continuum stresses personal and social change in which the person is said to be interrelated with the environment rather than having control over it. The aim of this orientation is self-actualization, personal or organizational change.

Bersandar pada pandangan tersebut, kecenderungan memilih menggunakan konsep kolaboratif dibandingkan kooperatif dapat dimaklumi. Kendati demikian, penggunaan kedua konsep tersebut secara komplementer tampaknya sulit dihindari. Slavin (1991:73), misalnya, mendefinisikan “Cooperative learning methods share the idea that students work together to learn and are responsible for one another’s learning as well as their own.”

Atau lebih jelas lagi definisi yang dikemukakan Cohen (1994:3) sebagai berikut: “Cooperative learning will be defined as students working together in a group small enough that everyone can participate on a collective task that has been clearly assigned. Moreover, students are expected to carry out their task without direct and immediate supervision of the teacher.”

Sementara itu Kagan (1990) mengemukakan definisi yang sangat baik tentang pembelajaran kooperatif dengan melihat struktur umum yang dapat disesuaikan dengan berbagai situasi. Definisinya itu meliputi pandangan para spesialis pembelajaran kooperatif seperti Johnsons, Slavin, Cooper, Graves dan Graves, Millis, etc. sebagai berikut:

The structural approach to cooperative learning is based on the creation, analysis and systematic application of structures, or content-free ways of organizing social inter-action in the classroom. Structures usually involve a series of steps, with proscribed behavior at each step. An important cornerstone of the approach is the distinction between “structures” and “activities”.

To illustrate, teachers can design many excellent cooperative activities, such as making a team mural or a quilt. Such activities almost always have a specific content-bound objective and thus cannot be used to deliver a range of academic content. Structures may be used repeatedly with almost any subject matter, at a wide range of grade levels and at various points in a lesson plan.”

Pembelajaran kooperatif dipahami sebagai suatu rangkaian proses yang membantu para siswa dalam berinteraksi bersama untuk mewujudkan tujuan spesifik yang telah disepakati. Dalam hal kewenangan guru, pembelajaran kooperatif lebih bersifat direktif jika dibandingkan dengan pembelajaran kolaboratif karena kontrol secara ketat yang dilakukan oleh guru: “While there are many mechanisms for group analysis and introspection the fundamental approach is teacher centered whereas collaborative learning is more student centered.” (Panitz:1996).

Senada dengan hal itu, Rocky Rockwood (1995) membagikan pengalamannya bahwa pembelajaran kooperatif sangat sesuai untuk pendekatan penguasaan pengetahuan/ keterampilan dasar. Baru ketika para siswa sudah menjadi semakin terampil, mereka siap untuk pembelajaran kolaboratif, siap untuk berdiskusi dan menilai. Pada bagian lain artikelnya tersebut, ia juga menjelaskan perbandingan antara pembelajaran kolaboratif dan kooperatif dengan terlebih dulu memahami kesamaan keduanya, yakni: 1) menggunakan kelompok; 2) memberikan tugas yang spesifik; 3) saling berbagi di antara kelompok; dan 4) membandingkan prosedur dan kesimpulan dalam kelompok pleno (seluruh kelas).

Sedangkan perbedaan yang paling nyata di antara keduanya adalah kenyataan bahwa pembelajaran kooperatif berkaitan erat dengan pengetahuan tradisional (kanonik) sementara pembelajaran kolaboratif terkait dengan gerakan konstruktivis sosial yang menegaskan bahwa pengetahuan dan otoritas pengetahuan telah berubah secara dramatis pada akhir abad yang lalu. Akibatnya adalah terjadi transisi dari pemahaman pengetahuan secara foundational (kognitif) ke nonfoundational ground sebagaimana diungkapkan oleh Bruffe (1993): “We understand knowledge to be a social construct and learning a social process”. Selanjutnya Rockwood menjelaskan:

In the ideal collaborative environment, the authority for testing and determining the appropriateness of the group product rests with, first, the small group, second, the plenary group (the whole class) and finally (but always understood to be subject to challenge and revision) the requisite knowledge community (i.e. the discipline: geography, history, biology etc.) The concept of non-foundational knowledge challenges not only the product acquired, but also the process employed in the acquisition of foundational knowledge.

Most importantly, in cooperative, the authority remains with the instructor, who retains ownership of the task, which involves either a closed or a closable (that is to say foundational) problem (the instructor knows or can predict the answer). In collaborative, the instructor – once the task is set – transfers all authority to the group. In the ideal, the group’s task is always open ended.

Seen from this perspective, cooperative does not empower students. It employs them to serve the instructor’s ends and produces a “right” or acceptable answer. Collaborative does truly empower and braves all the risks of empowerment (for example, having the group or class agree to an embarrassingly simplistic or unconvincing position or produce a solution in conflict with the instructor’s).

Every person, Brufee holds, belongs to several “interpretative or knowledge communities” that share vocabularies, points of view, histories, values, conventions and interests. The job of the instructor is to help students learn to negotiate the boundaries between the communities they already belong to and the community represented by the teacher’s academic discipline, which the students want to join. Every knowledge community has a core of foundational knowledge that its members consider as given (but not necessarily absolute). To function independently within a knowledge community, the fledgling scholar must master enough material to become conversant with the community.

Sehubungan dengan hakikat pendidikan nilai, ada asumsi bahwa penerapan pembelajaran kolaboratif dipandang lebih sesuai dibandingkan dengan pembelajaran kooperatif. Pemilihan ini juga didasarkan pada pendapat Myers (1991) yang mengusulkan orientasi “transaction” sebagai kompromi di antara tarik-menarik kedua metodologi tersebut.

This orientation views education as a dialogue between the student and the curriculum. Students are viewed as problem solvers. Problem solving and inquiry approaches stressing cognitive skills and the ideas of Vygotsky, Piaget, Kohlberg and Bruner are linked to transaction. This perspective views teaching as a “conversation” in which teachers and students learn together through a process of negotiation with the curriculum to develop a shared view of the world.

Definisi dan Pengertian Pembelajaran Kolaboratif
Dari berbagai keterangan tersebut, dapat direkonstruksi unsur-unsur pembelajaran kolaboratif sebagai berikut: suatu filsafat pengajaran, bukan serangkaian teknik untuk mengurangi tugas guru dan mengalihkan tugas-tugasnya kepada para siswa. Hal terakhir ini perlu ditekankan karena mungkin begitulah kesan banyak orang tentang pembelajaran kolaboratif. Mereka merasa bahwa tidak ada yang dapat menandingi pembelajaran konvensional, yang menempatkan guru sebagai satu-satunya pemegang otoritas pembelajaran di kelasnya.

Meskipun demikian, tidak ada maksud untuk meremehkan seluruh metode pembelajaran konvensional (tradisional). Namun, pembelajaran konvensional kurang efektif untuk menumbuhkembangkan minat belajar siswa terhadap bahan-bahan pembelajaran. Mungkin saja para siswa mempelajari lebih banyak materi pelajaran dalam pembelajaran konvensional, tetapi mungkin pula mereka akan segera melupakannya jika tidak terinternalisasi dalam perubahan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang dipelajari. Padahal, Gagne (1992:6) mengartikan pembelajaran bertolak dari hakikat belajar sebagai berikut:

Changes in behavior of human beings and in their capabilities for particular behaviors take place following their experience within certain indentifiable situations. These situations stimulate the individual in such a way as to bring about the change in behavior. The process that makes such change happen is called learning, and the situations that sets the process into effect is called a learning situation.

Dengan demikian, pembelajaran kolaboratif dapat didefinisikan sebagai filsafat pembelajaran yang memudahkan para siswa bekerjasama, saling membina, belajar dan berubah bersama, serta maju bersama pula. Inilah filsafat yang dibutuhkan dunia global saat ini. Bila orang-orang yang berbeda dapat belajar untuk bekerjasama di dalam kelas, di kemudian hari mereka lebih dapat diharapkan untuk menjadi warganegara yang lebih baik bagi bangsa dan negaranya, bahkan bagi seluruh dunia. Akan lebih mudah bagi mereka untuk berinteraksi secara positif dengan orang-orang yang berbeda pola pikirnya, bukan hanya dalam skala lokal, melainkan juga dalam skala nasional bahkan mondial.

Jelaslah bahwa pembelajaran kolaboratif lebih daripada sekadar kooperatif. Jika pembelajaran kooperatif merupakan teknik untuk mencapai hasil tertentu secara lebih cepat, lebih baik, setiap orang mengerjakan bagian yang lebih sedikit dibandingkan jika semua dikerjakannya sendiri, maka pembelajaran kolaboratif mencakup keseluruhan proses pembelajaran, siswa saling mengajar sesamanya. Bahkan bukan tidak mungkin, ada kalanya siswa mengajar gurunya juga.

Pembelajaran kolaboratif memudahkan para siswa belajar dan bekerja bersama, saling menyumbangkan pemikiran dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara kelompok maupun individu. Berbeda dengan pembelajaran konvensional, tekanan utama pembelajaran kolaboratif maupun kooperatif adalah “belajar bersama”.
Tetapi, dalam perspektif ini tidak semua “belajar bersama” dapat digolongkan sebagai belajar kooperatif, apalagi kolaboratif. Bila para siswa di dalam suatu kelompok tidak saling menyumbangkan pikiran dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara kelompok maupun individu, kelompok itu tak dapat digolongkan sebagai kelompok pembelajaran kolaboratif. Kelompok itu mungkin merupakan kelompok pembelajaran kooperatif atau bahkan sekadar belajar bersama-sama.
Inti pembelajaran kolaboratif adalah bahwa para siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil. Antaranggota kelompok saling belajar dan membelajarkan untuk mencapai tujuan bersama. Keberhasilan kelompok adalah keberhasilan individu dan demikian pula sebaliknya.

Referensi:
http://ruhcitra.wordpress.com/2008/08/09/pembelajaran-kolaboratif/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar